Kamis, 16 Juni 2011

Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka


Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup :
  1. Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), 
  2. Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan 
  3. Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.
                                           
Uji Farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.

Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro.

Uji Toksisitas
Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan manusia yang berasal dari bahan kimia yang terpapar dalam tubuh pada waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga dapat menjadi dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia.

Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat pemaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya dihitung dengan menggunakan nilai LC50 atau LD50. Nilai ini didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur angka relatif toksisitas akut bahan kimia.

Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan vaskuler dan alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Di samping pengamatan terhadap gejala klinis dan uji LD50 , bisa dilakukan juga pengujian terhadap organ gastrium, duodenum dan ginjal untuk melihat gambaran histopatologinya. Gambaran histopatologi ini bisa diambil dari organ hewan uji kemudian didokumentasikan menggunakan kamera mikroskop.

Uji toksisitas kronis diperlukan jika uji toksisitas akut tidak menghasilkan efek, maka bukan berarti toksikan tidak bersifat toksik. Oleh karena itu perlu uji kronis. Percobaan ini dilakukan dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap bahan kimia yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit lebih singkat.

Maksud dari uji kronik (seumur hidup), untuk  menentukan apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap  efek kesehatan yang mungkin memerlukan waktu yang lama  untuk menimbulkan suatu efek seperti kanker, atau paparan  jangka panjang terhadap bahan kimia menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti ginjal.

Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.

Uji Klinik
Setelah praklinis selesai, kemudian diujikan kepada manusia. Dari yang sakit kemudian yang sehat. Biayanya besar, sampai miliaran rupiah. Sehingga, biasanya harus kerja sama dengan industri. Dalam uji klinis, obat alam tadi dibandingkan dengan placebo yaitu senyawa tanpa efek, misalnya isi serbuk atau tepung. Sama-sama berbentuk kapsul, satu berisi obat dan satunya isi serbuk. Orang yang diuji tidak boleh tahu. Pengujinya kadang juga tidak tahu. Hal itu supaya tidak bias cara melihat efek.

Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam beberapa fase yaitu :

Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik obat pada manusia.

Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200 pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.

Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada tidaknya manfaat terapetik.

Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing) untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 , 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar