Rabu, 05 Oktober 2011

Terapi Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia.

Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit.

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi. Diperkirakan pada tahun 2004 jumlah penderita baru TB akan bertambah sekitar seperempat juta orang, yang sebagian besar dari penderita tersebut adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun.

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik yang salah satu kunci keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan dari penderita (adherence). Kemungkinan ketidak patuhan penderita selama pengobatan TB sangatlah besar. Ketidak patuhan ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pemakaian obat dalam jangka panjang, jumlah obat yang diminum cukup banyak serta kurangnya kesadaran dari penderita akan penyakitnya. Oleh karena itu perlu peran aktif dari tenaga kesehatan sehingga keberhasilan terapinya dapat dicapai.

Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah satu komponen dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan panduan
OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

Apoteker sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan hendaknya dapat berperan aktif dalam pemberantasan dan penanggulangan TB. Apoteker dalam hal ini dapat membantu : mengarahkan pasien yang diduga menderita TB untuk memeriksakan diri terhadap TB (case finding), memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling, membantu dalam pencatatan untuk pelaporan.

Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak
terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah : 
  1. Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi 
  2. Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.

Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang.

Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan. Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan TB. Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk;
       1.    menyembuhkan penderita sampai sembuh,
       2.    mencegah kematian,
       3.    mencegah kekambuhan, dan
       4.    menurunkan tingkat penularan.

PRINSIP PENGOBATAN
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
  1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. 
  2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 
  3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
 Tahap Intensif 
  • Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 
  • Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
  •  Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan 
  • Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama  
  • Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuha
REGIMEN PENGOBATAN
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi.

Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.

Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan).

Sebagai contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya : Tahap awal/intensif adalah 2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu.



Paduan OAT Yang Digunakan Di Indonesia
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia :
      -   Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
      -   Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
      -   Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3.
      -   Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa pengobatan. Obat Paket Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui Institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai Pengobatan TB paru, Rumah Sakit Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Depkes RI.

KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

Obat ini diberikan untuk: 
Penderita baru TB Paru BTA Positif 
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”  
Penderita TB Ekstra Paru berat


KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. 
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
      Penderita kambuh (relaps)
      Penderita gagal (failure)
      Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).



KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk:
      Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
      Penderita TB ekstra paru ringan.



OAT SISIPAN (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg
1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet Etambutol 250 mg
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

Pengobatan TB Pada Anak
Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian: 
  • Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari. 
  •  Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR:
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).



Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat badan, dan anak menjadi lebih aktif dibanding dengan sebelum pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Tetap
Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination(FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun di dalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
  1. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. 
  2. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita. 
  3. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan. 
  4. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya.
Beberapa hal yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi dalam pelaksanaan pemakaian OAT-FDC : Salah persepsi, petugas akan menganggap dengan OAT-FDC, kepatuhan penderita dalam menelan obat akan terjadi secara otomatis, karenanya pengawasan minum obat tidak diperlukan lagi. Tanpa jaminan mutu obat, maka bio-availability obat, khususnya Rifampisin akan berkurang. Jika kesalahan peresepan benar terjadi dalam OAT-FDC, maka akan terjadi kelebihan dosis pada semua jenis OAT dengan Risiko toksisitas atau kekurangan dosis (sub-inhibitory concentration) yang memudahkan berkembangnya resistensi obat.

Bila terjadi efek samping sulit menentukan OAT mana yang merupakan penyebabnya. Karena paduan OAT-FDC untuk kategori-1 dan kategori-3 yang ada pada saat ini tidak berbeda maka dapat menurunkan nilai pentingnya pemeriksaan dahak mikroskopis bagi petugas. Pemakaian OAT-FDC tidak berarti mengganti atau meniadakan tatalaksana standar dan pengawasan menelan obat.

Paduan pengobatan OAT-FDC yang tersedia saat ini di Indonesia terdiri dari:
2(HRZE)/4(HR)3      untuk Kategori 1 dan Kategori 3
2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3      untuk Kategori 2
Dosis Pengobatan
Pada tabel 6 berikut ini disampaikan Dosis Pengobatan Kategori -1 dan Kategori -3 : {2(HRZE)/4(HR)3}

Sedangkan untuk Dosis Pengobatan Kategori 2 disampaikan pada tabel berikut {2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3}:






1 komentar: